Cari Artikel Di Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Simpan » Diposting oleh Iem-colicul » Kamis, 12 Januari 2012 »
Kamis, 12 Januari 2012 comment

Jangan halangi aku untuk ber'amal..!



Hari itu Nasibah tengah berada di dapur.
Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan
gunung-gunung batu yang runtuh. Nasibah
menebak, itu pasti tentara musuh. Memang,
beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud.

Dengan bergegas, Nasibah meninggalkan apa yang
tengah dikerjakannya dan masuk ke kamar.
Suaminya yang tengah tertidur dengan halus dan
lembut dibangunkannya. “Suamiku tersayang,”
Nasibah berkata, “Aku mendengar suara aneh
menuju Uhud. Barang kali orang-orang kafir telah menyerang.”

Said yang masih belum sadar sepenuhnya,
tersentak. Ia menyesal mengapa bukan ia yang
mendengar suara itu. Malah Istrinya. Segera saja ia
bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nasibah
menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.

“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang
sebelum menang....”

Said memandang wajah Istrinya. Setelah
mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah
ada keraguan baginya untuk pergi ke medan
perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu
terdengarlah derap suara langkah kuda menuju
utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu
sudut yang lain, Rasulullah saw melihatnya dan
tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu makin
mengobarkan keberanian Said saja.

Di rumah, Nasibah duduk dengan gelisah. Kedua
anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan
Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan
Ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah
tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang
nampaknya sangat gugup.

“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si
Penunggang Kuda, “Suami Ibu, Said baru saja
gugur di medan perang. Beliau syahid....”

Nasibah tertunduk sebentar, “Innalillah....”
gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima
kasih, ya Allah.”

Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu,
Nasibah memanggil Amar. Ia tersenyum
kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar,
kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih
mendengar Ayahmu telah syahid. Aku sedih karena
tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat Ibumu
bahagia?”
Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.

“Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak.
Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir
terbasmi.”

Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu.
Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-
was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan
kepadaku untuk membela agama Allah.”

Putra Nasibah yang berbadan kurus itu pun segera
menderapkan kudanya mengikut jejak sang Ayah.
Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam
wajahnya. Di depan Rasulullah saw, ia
memperkenalkan diri. “Ya Rasulullah, aku Amar
bin Said. Aku datang untuk menggantikan Ayah yang telah gugur.”

Rasul saw dengan terharu memeluk anak muda itu.
“Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar.
Allah memberkatimu....”

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan
darah berlangsung sampai sore. Pagi-pagi seorang
utusan pasukan Islam berangkat dari perkemahan
mereka menuju ke rumah Nasibah. Setibanya di
sana, perempuan yang tabah itu sedang termangu-
mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan kiranya?” serunya gemetar ketika sang
Utusan belum lagi membuka suaranya, “Apakah
anakku gugur?”

Utusan itu menunduk sedih, “Betul....”
“Innalillah....” Nasibah bergumam kecil. Ia
menangis.

“Kau berduka, ya Ummu Amar?”
Nasibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira.
Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan
kuberangkatan? Saad masih kanak-kanak.”

Mendegar itu, Saad yang tengah berada tepat di
samping Ibunya, menyela, “Ibu, jangan remehkan
aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan
bahwa Saad adalah putra seorang Ayah yang gagah
berani.”

Nasibah terperanjat. Ia memandangi putranya.
“Kau tidak takut, Nak?”

Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya
menggeleng yakin. Sebuah senyum terhias di
wajahnya. Ketika Nasibah dengan besar hati
melambaikan tangannya, Saad hilang bersama
utusan itu.

Di arena pertempuran, Saad betul-betul
menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13
tahun itu telah banyak menghempaskan banyak
nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat
itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di
dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”

Kembali Rasulullah saw memberangkatkan utusan
ke rumah Nasibah. Mendengar berita kematian itu,
Nasibah meremang bulu kuduknya. “Hai utusan,”
ujarnya, “Kau saksikan sendiri aku sudah tidak
punya apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diri yang
tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”

Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau
perempuan, ya Ibu....”

Nasibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku
karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak
ingin juga masuk Surga melalui jihad?”

Nasibah tidak menunggu jawaban dari utusan
tersebut. Ia bergegas saja menghadap Rasulullah
saw dengan kuda yang ada. Tiba di sana,
Rasulullah saw mendengarkan semua perkataan
Nasibah. Setelah itu, Rasulullah saw pun berkata
dengan senyum. “Nasibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan mengangkat senjata.
Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-
obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka.
Pahalanya sama dengan yang bertempur.”

Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nasibah
pun segera menenteng tas obat-obatan dan
berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang
bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka
dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang
menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terciprat darah di
rambutnya. Ia menegok. Kepala seorang tentara
Islam menggelinding terbabat senjata orang kafir.

Nasibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi
waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat
keningnya terserempet anak panah musuh, Nasibah
tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan
gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang
rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai 'singa betina', ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-
birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun
tumbang. Hingga pada suatu waktu seorang kafir
mengendap dari belakang, dan membabat putus
lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda.

Peperangan terus saja berjalan. Medan
pertempuran makin menjauh, sehingga Nasibah
teronggok sendirian. Tiba-tiba Ibnu Mas’ud
mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada
korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu
melihat seonggok tubuh bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya. Dipercikannya air ke
muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’ud
mengenalinya, “Istri Said-kah engkau?”

Nasibah samar-samar memperhatikan
penolongnya. Lalu bertanya,

“Bagaimana dengan
Rasulullah? Selamatkah beliau?”

“Beliau tidak kurang suatu apapun....”

“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda
dan senjatamu kepadaku....”

“Engkau masih luka parah, Nasibah....”

“Engkau mau menghalangi aku membela
Rasulullah?”

Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan
senjatanya. Dengan susah payah, Nasibah menaiki
kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke
pertempuran. Banyak musuh yang
dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya
sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas
pasir. Darahnya membasahi tanah yang
dicintainya.

Tiba-tiba langit berubah hitam mendung. Padahal
tadinya cerah terang benderang. Pertempuran
terhenti sejenak. Rasul saw kemudian berkata
kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-
tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para
Malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah
Nasibah, wanita yang perkasa.”


Jangan lupa di share dan like Jangan halangi aku untuk ber'amal..! bro / sist

Save url to wapmaster
Similiar Post :

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

 
powered by blogger.com and maxwidth build 0.01 mobile template