Cari Artikel Di Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Simpan » Diposting oleh Iem-colicul » Minggu, 17 April 2011 »
Minggu, 17 April 2011 comment

kisah tentang pendeta roma yang masuk islam

Oleh
Amjad bin Imron Salhub Segala puji bagi Allah. Semoga shalawat serta
salam tetap terlimpahkan atas Rasulullah,
keluarga dan para sahabatnya, serta siapa saja
yang mengikuti sunnahnya dan menjadikan
ajarannya sebagai petunjuk sampai hari kiamat. Sejarah Islam, baik yang dulu maupun sekarang
senantiasa menceritakan kepada kita, contoh-
contoh indah dari orang-orang yang mendapatkan
petunjuk, mereka memiliki semangat yang begitu
tinggi dalam mencari agama yang benar. Untuk
itulah, mereka mencurahkan segenap jiwa dan mengorbankan milik mereka yang berharga,
sehingga mereka dijadikan permisalan, dan
sebagai bukti bagi Allah atas makhluk-Nya. Sesungguhnya siapa saja yang bersegera mencari
kebenaran, berlandaskan keikhlasan karena Allah
Ta’ala, pasti Dia Azza wa Jalla akan menunjukinya kepada kebenaran tersebut, dan
dapat dianugerahkan kepadanya nikmat terbesar
di alam nyata ini, yaitu kenikmati Islam. Semoga
Allah merahmati Syaikh kami Al-Albani yang
sering mengulang-ngulangi perkataan. “Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam dan As- Sunnah”. Diantara kalimat mutiara ulama salaf adalah.:
“Sesungguhnya diantara nikmat Allah atas orang ‘ajam dan pemuda adalah, ketika dia beribadah bertemu dengan pengibar sunnah, kemudian dia
membimbingnya kepada sunnah Rasulullah. Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang
berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan
saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-
Nya”. Inilah kalimat tauhid, kalimat yang baik dan kunci
surga. Kalimat inilah stasiun pertama dari jalan
panjang yang penuh dengan onak dan duri,
kalimat taqwa bukanlah kalimat yang mudah bagi
seseorang insan yang ingin menggerakkan
lisannya untuk mengucapkannya, demikian juga ketika dia ingin mengeluarkannya dari hatinya
yang paling dalam. Karena, ketika seorang insan
ingin mengeluarkannya dari hatinya yang paling
dalam, maka dia harus mengetahui terlebih
dahulu, bahwa kalimat itu keluar dengan seizin
Allah Ta’ala. Demikianlah yang dialami oleh Ibrahim (dulu
bernama Danial) –semoga Allah memerliharanya, meluruskannya diatas jalan keistiqomahan, serta
menutup lembaran hidupnya diatas Islam- Inilah dia yang akan menceritakan kepada kita,
bagaimana dia meninggalkan agama kaumnya
(Nasrani) menuju Islam, dan bagaimana dia telah
mengorbankan kekayaan ayahnya serta
kemewahan hidupnya, di suatu jalan (hakekat
terbesar), demi mencari kebebasan akal dan jiwa. Ibrahim (dulu bernama Danial) –semoga Allah memeliharanya, dan mengokohkannya diatas
jalan keistiqomahan- menceritakan : Saya adalah seorang lelaki dari keluarga Roma,
seorang anak dari keluarga kaya, semasa kecil,
saya hidup dengan kemewahan dan
kemakmuran. Demikianlah, kulalui masa kecilku.
Ketika masa remajapun, saya banyak
menghabiskan waktu dengan kemewahan bersama teman-temanku, ketika itu saya memiliki
sebuah mobil mewah dan uang, sehingga saya
bisa memiliki segala sesuatu dan tidak pernah
kekurangan. Akan tetapi sejak kecil, saya senantiasa merasa
bahwa dalam kehidupan ini ada yang kurang, dan
saya yakin bahwa ada sesuatu yang salah di
dalam hidupku, serta suatu kekosongan yang
harus kupenuhi, karena semua sarana kehidupan
ini bukanlah tujuanku. Saya mulai tertarik dengan agama, dan mulailah
kubaca Injil, pergi ke gereja, serta kusibukkan
diriku dengan membaca buku-buku agama
Kristen. Dari buku-buku yang kubaca tersebut,
mulai kudapatkan sebagian jawaban atas
berbagai pertanyaannku, akan tetapi tetap saja belum sempurna Dahulu saya bangun pagi setiap hari dan pergi ke
pantai, saya merenungi laut sambil membaca
buku-buku dan shalat Setelah dua bulan dari
permulaan hidupku ini, saya merasa mantap
bahwa saya tidak mampu terus menerus
menjalani hidupku seperti biasanya setelah beragama. Ketika itu, saya mendatangi ayahku
dan kukabarkan kepadanya bahwa saya tidak
bisa melanjutkan bekerja dengannya, saya juga
pergi mendatangi ibu dan saudara-saudariku dan
kukabarkan kepada mereka bahwa saya telah
mengambil keputusan untuk meninggalkan mereka Kemudian kusiapkan tasku lalu naik kereta tanpa
kuketahui ke mana saya hendak pergi, hingga
saya tiba di kota Polon, kemudian saya masuk ke
Ad-Dir [1] disana, lalu naik gunung yang tinggi.
Saya menetap di gunung selama kira-kira sebulan,
saya tidak berbicara dengan siapapun, saya hanya membaca dan beribadah. Sekitar tiga tahun, saya senantiasa berpindah-
pindah dari satu Ad-Dir ke Ad-Dir yang lain, saya
membaca dan beribadah, kebalikannya para
pendeta yang tidak bisa meninggalkan Ad-Dir
mereka, karena saya tidak pernah memberikan
janji untuk menjadi seorang pendeta di suatu Ad- Dir tertentu, dan janji tersebut akan
menghalangiku untuk keluar masuk darinya. Setelah itu, saya memutuskan untuk berkelilng ke
berbagai negeri, maka saya memulai perjalanan
panjangku dari Italia melalui Slovania, Hungaria,
Nimsa, Romania, Bulgaria, Turki, Iran, Pakistan,
dari sana menuju India. Semua perjalanan ini saya
tempuh melalui jalur darat. Saya mendengar suara adzan di Turki, dan saya sudah pernah
mendengarnya di Kairo (Mesir) pada perjalananku
sebelumnya, akan tetapi kali ini sangat terkesan,
sehingga saya mencintai Dalam perjalanan pulang, saya bertemu dengan
seorang muslim Syi’ah di perbatasan Iran dan Pakistan, dia dan temannya menjamuku dan mulai
menjelaskan kepadaku tentang Islam versi
Syi’ah. Keduanya menyebutkan Imam Duabelas dan mereka tidak menjelaskan kepadaku tentang
Islam dengan sebenarnya, bahkan mereka
memfokuskan pada ajaran Syi ’ah dan Imam Ali Radhiyallahu ‘anhu, serta tentang penantian mereka terhadap seorang Imam yang ikhlas, yang
akan datang untuk membebaskan manusia. Semua diskusi tersebut sama sekali tidak menarik
perhatianku, dan saya belum mendapatkan
jawaban atas berbagai pertanyaanku dalam
rangka mencari hakekat kebenaran. Orang
Syi’ah itu menawarkan kepadaku untuk mempelajari Islam di kota Qum, Iran, selama tiga
bulan tanpa dipungut biaya, akan tetapi saya
memilih untuk melanjutkan perjalananku dan
kutinggalkan mereka. Kemudian saya menuju India, dan ketika saya
turun dari kereta, pertama yang kulihat adalah
manusia yang membawa kendi-kendi di pagi hari
sekali dengan berlari-lari kecil menuju kedalam
kota, maka kuikuti mereka dan saya melihat
mereka berthowaf mengelilingi sapi betina yang tebuat dari emas, ketika itu saya sadar bahwa
India bukanlah tempat yang kucari. Setelah itu, saya kembali ke Italia dan dirawat di
rumah sakit selama sebulan penuh, hampir saja
saya meninggal dikarenakan penyakit yang saya
derita ketika di India, akan tetapi Allah telah
menyelamatkanku, Alhamdulillah. Saya keluar dari rumah sakit menuju rumah, dan
mulailah saya berfikir tentang langkah-langkah
yang akan saya ambil setelah perjalanan panjang
ini, maka saya memutuskan untuk terus dalam
jalanku mencari hakekat kebenaran. Saya kembali
ke Ad-Dir dan mulailah kujalani kehidupan seorang pendeta di sebuah Ad-Dir di Roma. Pada
waktu itu saya telah diminta oleh para pembesar
pendeta disana untuk memberikan kalimat dan
janji. Pada malam itu, saya berfikir panjang, dan
keesokan harinya saya memutuskan untuk tidak
memberikan janji kepada mereka lalu kutinggalkan Ad-Dir tersebut. Saya merasa ada sesuatu yang mendorongku
untuk keluar dari Ad-Dir, setelah itu saya menuju
Al-Quds karena saya beriman akan kesuciannya.
Maka mulailah saya berpergian menuju Al-Quds
melalui jalur darat melewati berbagai negeri,
sampai akhirnya saya tiba di Siria, Lebanon, Oman dan Al-Quds, saya tinggal disana seminggu,
kemudian saya kembali ke Italia, maka
bertambahlah pertanyaan-pertanyaanku, saya
kembali ke rumah lalu kubuka Injil. Pada kesempatan ini, saya merasa berkewajiban
untuk membaca Injil dari permulaannya, maka
saya memulai dari Taurat, menelusuri kisah-kisah
para nabi bani Israel. Pada tahap ini mulai nampak
jelas di dalam diriku makna-makna kerasulan
hakiki yang Allah mengutus kepadanya, mulailah saya merasakannya, sehingga muncullah
berbagai pertanyaan yang belum saya dapatkan
jawabannya, saya berusaha menemukan
jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut dari
perpustakaanku yang penuh dengan buku-buku
tentang Injil dan Taurat. Pada saat itu, saya teringat suara adzan yang
pernah kudengar ketika berkeliling ke berbagai
negeri serta pengetahuanku bahwa kaum
muslimin beriman terhadap Tuhan yang satu, tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Dia.
Dan inilah yang dulu saya yakini, maka saya berkomitmen : Saya harus berkenalan dengan
Islam, kemudian mulailah ku-kumpulkan buku-
buku tentang Islam, diantara yang saya miliki
adalah terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Italia, yang pernah saya beli ketika berkeliling ke
berbagai negeri. Setelah kutelaah buku-buku tersebut, saya
berkesimpulan bahwa Islam tidak seperti yang
dipahami oleh mayoritas orang-orang barat, yaitu
sebagai agama pembunuh, perampok dan teroris.
Akan tetapi yang saya dapati adalah Islam itu
agama kasih sayang dan petunjuk, serta sangat dekat dengan makna hakiki dari Taurat dan Injil. Kemudian saya putuskan untuk kembali ke Al-
Quds, karena saya yakin bahwa Al-Quds adalah
tempat turunnya kerasulan terdahulu, akan tetapi
kali ini saya menaiki pesawat terbang dari Italia
menuju Al-Quds. Saya turun di tempat turunnya
para pendeta dan peziarah dibawah panduan hause bus Armenia di daerah negeri kuno. Di
dalam tasku, saya tidak membawa sesuatu
kecuali sedikit pakaian, terjemahan Al-Qur ’an, Injil dan Taurat, kemudian saya mulai membaca
lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi, saya
membandingkan kandungan Al-Qur ’an dengan isi Taurat dan Injil, sehingga saya berkesimpulan
bahwa kandungan Al-Qur ’an sangat dekat dengan ajaran Musa dan Isa ‘Alaihis salam yang asli Selanjutnya saya mulai berdialog dengan kaum
muslimin untuk menanyakan kepada mereka
tentang Islam, sampai akhirnya saya bertemu
dengan sahabatku yang mulia Wasiim Hujair, kami
berbincang-bincang tentang Islam. Saya juga
banyak bertemu dengan teman-teman, mereka menjelaskan kepada saya tentang Islam. Setelah
itu, saudara Wasiim mengatakan kepadaku
bahwa dia akan mengadakan suatu pertemuan
antara saya dengan salah seorang da’i dari teman-temannya para da’i. Pertemuan itu berlangsung dengan saudara yang
mulia Amjad Salhub, kemudian terjadilan
perbincangan yang bagus tentang agama Islam.
Diantara perkara yang paling mempengaruhiku
adalah kisah sahabat yang mulia, Salman Al-Farisi
Radhiyallahu ‘anhu, karena didalamnya ada kemiripan dengan ceritaku tentang pencarian
hakekat kebenaran. Kami berkumpul lagi dalam pertemuan yang lain
dengan saudara Amjad beserta teman-temannya,
diantaranya Fadhilatusy Syaikh Hisyam Al-Arif
Hafidhohullah, maka berlangsunglah dialog
tentang Islam dan keagungannya, kebetulan
ketika itu saya memiliki beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Syaikh. Setalah itu, saya terus menerus berkomunikasi
dengan saudara Amjad yang dengan sabar
menjelaskan jawaban atas mayoritas pertanyaan-
pertanyaannku. Pada saat seperti itu di depan
saya ada dua pilihan, antara saya mengikuti
kebenaran atau menolaknya, dan saya sama sekali tidak sanggup menolak kebenaran tersebut
setelah saya meyakini bahwa Islam adalah jalan
yang benar. Pada saat itu juga, saya merasakan bahwa waktu
untuk mengucapkan kalimat tauhid dan syahadat
telah tiba. Ternyata tiba-tiba saudara Amjad
mendatangiku bertepatan dengan waktu
dikumandangkannya adzan untuk shalat dhuhur.
Waktu itu benar-benar telah tiba, sehingga tiada pilihan bagiku kecuali saya mengucapkan. “Asyhadu An Laa Ilaha Illallahu Wa Anna Muhammadan Rasulullah” Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang
berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan
saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-
Nya. Maka serta merta saudara Amjad memeluku
dengan pelukan yang ramah, seraya memberikan
ucapan selamat atas ke-Islamanku, kemudian
kami sujud syukur sebagaimana ungkapan terima
kasih kepada Allah atas anugerah nikmat ini.
Kemudian saya diminta mandi [2] dan berangkat ke Masjid Al-Aqsho untuk menunaikan shalat
dhuhur. Di tempat tersebut setelah shalat, saya menemui
jama’ah shalat dengan syahadat, yaitu persaksian kebenaran dan tauhid yang telah Allah
anugerahkan kepadaku. Setelah saya mengetahui
bahwa siapa saja yang masuk Islam wajib
baginya berkhitan, maka segala puji dan anugerah
milik Allah, saya tunaikan kewajiban berkhitan
tersebut sebagai bentuk meneladani bepaknya para nabi, yaitu Ibrahim Alaihis sallam yang
melakukan khitan pada usia 80 tahun.[3] Itulah diriku, saya telah memulai hidup baru
dibawah naungan agama kebenaran, agama yang
penuh dengan kasih sayang dan cahaya. Saya
senantiasa menuntut ilmu agama dari kitab Allah
Ta’ala dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan manhaj salaf
(pendahulu) umat ini, dari kalangan para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum beserta siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari
kiamat. Segala puji bagi Allah atas anugerah Islam dan As-
Sunnah. [Dialihbahasakan oleh Abu Zahro Imam Wahyudi
Lc dari majalah Ad-Da’wah As-Salafiyah – Palestina edisi Perdana, Muharram 1427H
halaman 21-24] [Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah
Vol 5 No 3 Edisi 27 - Shafar 1428H. Penerbit
Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Jl Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]
__________
Foote Note
[1]. Ad-Dir = Istilah untuk gereja yang terpencil di
pedalaman.
[2]. Sebagaimana hadits Qoish bin Ashim, beliau menceritakan : “ Ketika beliau masuk Islam. Rasulullah memerintahkannya untuk mandi
dengan air yang dicampur bidara” [HR An-Nasari, At-Tummudzi dan Abu Daud. Dishahihkan oleh Al-
Albani dalam Al-Irwa no. 128]
[3]. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ibrahim berkhitan ketika umur 80 tahun dengan “Al-Qoduum” (nama alat atau tempat)” [HR Al-Bukhari 3356 dan Muslim 2370] Sumber Artikel : WWW.ALMANHAJ.OR.ID http://alqiyamah.wordpress.com/2008/10/04/
kisah-tentang-pendeta-roma-yang-masuk-islam/


Jangan lupa di share dan like kisah tentang pendeta roma yang masuk islam bro / sist

Save url to wapmaster
Similiar Post :

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Archives

 
powered by blogger.com and maxwidth build 0.01 mobile template