Cari Artikel Di Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Simpan » Diposting oleh Iem-colicul » Selasa, 26 April 2011 »
Selasa, 26 April 2011 comment

Kisah Sahabat Nabi, Bilal bin Rabah si Pengumandang adzan bersuara emas

Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat
Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang
keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah
biasa kita sebut dengan Ethiopia. Seperti penampilan
orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar,
begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf.
Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat,
namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak
bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima
hidayah saat Rasulullah berdakwah.
Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat
Rasulullah yang berjuang mempertahankan
hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira
gambaran perjuangan Bilal bin Rabab. Keislamannya,
suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai
ganjarannya, Bilal di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang
membebaskannya dengan sejumlah uang tebusan.
Boleh dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah
termasuk orang yang amat tegas dalam
mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu
ketika berkata, orang yang pertama kali menampakkan keislamannya adalah Rasulullah.
Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin
Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh
paman beliau. Dan Abu Bakar dilindungi pula oleh
sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian
pula, tak ada yang membela. Bilal, hidup sebatang
kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau
tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai
penolong dan wali-nya, itu lebih cukup dari segalanya.
Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti
hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas
hatinya menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan
Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak
berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang
jalan. Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari bibirnya yang mengeluarkan
darah.
Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya
sangat lemah, tapi tidak di mata Allah. Ada satu
riwayat yang membukti-kan betapa Allah
memberikan kedudukan yang mulai di sisi-Nya. Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk
menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung,
amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal
mendahului berjalan masuk surga ketimbang
Rasulullah. "Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik
langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."
Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan
raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan
Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats,
aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua
rakaat." "Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian
tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah.
Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati
dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam
lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa
ia adalah budak belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya
sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat
sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di
Syiria dan Umar mengunjunginya.
Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan sebagai tanda
panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas menara dan
bergemalah suaranya.
Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana
menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka, tangis
yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang
dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan
kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi
akhir zaman.
Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin
Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu
dengan Rasulullah.
"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali
kepadamu," demikian Rasulullah berkata dalam
mimpi Bilal. "Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat
rindu ingin bertemu" kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu
saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang
gulana. Ia dirundung rindu.
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut
pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara,
kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak
menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah
tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi
junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar diselubungi rasa haru.
Kenangan semasa Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah
tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan
kenangannya bersama manusia mulia itu. Dan Bilal
sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan
dengan nabi tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan
Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup
lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada.
Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan
kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang
dikumandangkan Bilal. Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa,
Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin
kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal
mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal
terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh
berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah menitiskan air mata. "Marhaban ya
Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal
menolak untuk mengumandangkan adzan setelah
Rasulullah wafat. Waktu itu, beberapa saat setelah
malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah,
belum dimakamkan. Satu persatu kalimat adzan
dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu
anna Muhammadarrasulullah." Tangis penduduk
Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah.
Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu
Bakar meminta Bilal untuk adzan. "Adzanlah wahai
Bilal," perintah Abu Bakar. Dan Bilal menjawab
perintah itu, "Jika engkau dulu membebaskan demi
kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan
aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku."
"Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata
Abu Bakar. "Maka biarkan aku memilih pilihanku,"
pinta Bilal. "Sungguh, aku tak ingin adzan untuk
seorang pun sepeninggal Rasulullah," lanjut Bilal. "Kalau demikian, terserah apa
kehendakmu," jawab Abu Bakar.


Jangan lupa di share dan like Kisah Sahabat Nabi, Bilal bin Rabah si Pengumandang adzan bersuara emas bro / sist

Save url to wapmaster
Similiar Post :

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Archives

 
powered by blogger.com and maxwidth build 0.01 mobile template